Jawabanterverifikasi Pembahasan Pendekatan geografi yang berkaitan dengan kasus gizi buruk yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia dengan kajian berupa faktor manusia dan kondisi fisik dimana kejadian tersebut terjadi yaitu pendekatan kompleks wilayah. Kata kunci dari pernyataan pada soal yaitu "faktor manusia dan kondisi fisik".
ist VIVA - Masalah gizi buruk dan gizi kurang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, pada Februari 2021 menunjukkan, masih terdapat 19 balita yang mengalami gizi buruk, dan 588 balita lainnya mengalami gizi kurang di daerah tersebut.
Saatini kasus gizi buruk di Indonesia sudah mengalami penurunan jumlah. Tercatat penurunan kasus gizi kurang dari 31 persen di tahun 1990 menjadi 17,9 persen di tahun 2012. Kasus gizi kurang banyak dialami oleh beberapa daerah yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTB dan NTT.
Ahligizi dan Ketua Tim Ahli Pengembang Panduan Isi Piringku untuk anak usia 4-6 tahun, Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati MSi mengatakan bahwa masalah gizi di Indonesia itu ada tiga beban malnutrisi yang terjadi. "Di kita itu masalah gizi ada namanya triple burden of malnutrition (tiga beban malnutrisi)," kata Anna dalam acara bertajuk Upaya Penguatan Edukasi Perilaku Gizi Seimbang untuk Anak pada Masa Adaptasi Kebiasan Baru, Jumat (28/8/2020).
Beberapawaktu lalu, dua hari berturut-turut sebuah koran ternama Tanah Air mengulas data perihal gizi buruk yang menimpa anak Indonesia Timur. Dalam koran itu dijelaskan bahwa status gizi anak balita di wilayah timur memasuki tahap mengkhawatirkan. Wilayah yang paling tinggi terjangkit malnutrisi adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mellysinc@Mellysinc. April 2019 1 52 Report. Di beberapa tempat di Indonesia terjadi kasus gizi buruk. Dalam mengkaji permasalahan tersebut maka yang harus dikaji adalah faktor manusia dan kondisi fisik di mana kejadian tersebut terjadi. Pendekatan geografi yang berkaitan dengan kasus tersebut yaitu .
terjawab• terverifikasi oleh ahli Di beberapa tempat di Indonesia terjadi kasus gizi buruk. Dalam mengkaji permasalahan tersebut maka yang harus dikaji adalah faktor manusia dan kondisi fisik di mana kejadian tersebut terjadi. Pendekatan geografi yang berkaitan dengan kasus tersebut yaitu
qtCo. Jakarta - Munculnya kasus balita gizi buruk di Kalideres, Jakarta Barat, dinilai sebagai wujud ketidakpekaan lurah dan camat wilayah tersebut terhadap kondisi masyarakatnya. Hal itu disampaikan anggota DPRD DKI Jakarta dari Komisi D, Hardiyanto Kenneth. Menurut dia, adanya anak gizi buruk bukan kesalahan Dinas Kesehatan Jakarta Barat saja. Anggota DPRD DKI dari Fraksi PDI Perjuangan menduga, kasus gizi buruk di Kalideres timbul karena Camat dan Lurah Kalideres tidak peka, sehingga bukan murni kesalahan Dinkes Jakbar. Penyebab Penyakit Kwashiorkor, Gizi Buruk pada Anak yang Perlu Diwaspadai Sampah Makanan Capai 48 Juta Ton per Tahun di Indonesia, Dapur Bergerak Mengolah Bahan Pangan yang Tak Terjual "Dinkes Jakbar, sifatnya hanya menerima laporan dan segera langsung melakukan penanganan. Secara prinsip kan tidak mungkin Dinkes Jakbar mengetahui orang yang sakit, kalau tidak ada aduan," ujar Kenneth, seperti dilansir Antara. "Seharusnya Camat dan Lurah Kalideres bisa lebih sensitif, mereka bisa memaksimalkan peran RT, RW dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat FKDM di wilayahnya masing masing," tambahnya. Dia berpendapat, apabila camat dan lurah bekerja maksimal, pasti dapat diantisipasi sejak awal dan tidak perlu muncul balita yang terjangkit gizi buruk. Sebab, tupoksi cegah dini dan deteksi dini Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan ATHG serta menjadi katalisator program pemerintah daerah, secara otomatis melekat di badan organisasi RT, RW dan FKDM. "Tugas camat dan lurah lah yang harus mengontrol serta memaksimalkan peran mereka, karena RT, RW dan FKDM pasti mempunyai data yang valid di wilayah masing masing. Saran saya perlu ada evaluasi karena seharusnya pejabat setempat tahu kondisi masyarakat setempat," terang Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI IKAL PPRA Angkatan LXII itu. Kennet menyayangkan adanya balita berusia dua tahun di Jalan Lingkungan Hidup III, Kelurahan Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat, yang mengalami gizi buruk sejak awal bulan April 2022. Sebab, DKI Jakarta memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD terbanyak jika dibandingkan dengan provinsi yang lain. "Ini peristiwa yang sangat dramatis dan sangat miris, sekelas kota besar seperti Jakarta masih ada seorang balita yang mengalami gizi buruk, Saya selaku Anggota DPRD yang terpilih dari daerah pemilihan Jakarta Barat merasa sangat sedih dan terpukul, seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika pemimpinnya fokus dalam memperhatikan warganya," tutur kehilangan orang tuanya, Haikal mengalami kesulitan makan. Akibatnya, Ia menderita gizi buruk hingga kini.
CIANJUR - Kasus anak yang mengalami gizi buruk di Kabupaten Cianjur masih cukup banyak. Dinas Kesehatan Dinkes Kabupaten Cianjur mencatat selama rentang waktu 2019 hingga 2021, ada sebanyak 289 orang balita yang mengalami gizi buruk. "Total selama tiga tahun terakhir, ada 289 balita yang mengalami gizi buruk," ujar Plt Kepala Dinas Kesehatan Dinkes Kabupaten Cianjur Irvan Nur Fauzy kepada wartawan, Kamis 27/5. Rinciannya, pada 2019 ada sebanyak 93 balita dengan gizi buruk. Selanjutnya, pada pada 2020 naik mencapai 153 balita gizi buruk. Berikutnya selama periode Januari hingga Mei 2021, tercatat 43 balita gizi buruk dan salah satunya, Muhammad Bayu, balita asal Agrabinta yang kini kondisinya memprihatinkan. Irvan mengatakan, kenaikan kasus gizi buruk terjadi saat awal pandemi Covid-19. Meskipun demikian, belum bisa dipastikan dampak dari pandemi pada peningkatan kasus gizi buruk di Cianjur. Lebih lanjut Irvan mengatakan, berdasarkan data memang paling banyak kasus pada masa awal pandemi. Hal ini karena pada saat awal pandemi, layanan menjadi kurang maksimal, misalnya ada pembatasan dan khawatir terjadi penyebaran Covid. Kondisi inilah, Irvan menambahkan, yang mungkin jadi salah satu faktor kenaikan pada tahun lalu. Dia mengatakan, faktor utama masih banyaknya kasus gizi buruk di Cianjur, di antaranya minimnya pengetahuan orang tua dalam pemenuhan gizi untuk anak. Kondisi ini, tutur Irvan, terutama terjadi di wilayah Cianjur selatan. Di mana orang tua kurang dalam memperhatikan asupan gizi anak. Di samping itu, adanya penyakit penyerta membuat anak rentan mengalami gizi buruk. Dari data yang ada, ungkap Irvan, rata-rata balita gizi buruk di Cianjur mengidap TBC dan hepatitis. Dengan demikian, penyakit tersebut membuat asupan gizi di dalam tubuh anak berfokus pada penyakit yang menjangkitnya. Dalam artian, Irvan menambahkan, asupan gizi ke tubuh fokus ke penyakit yang dideritanya sehingga dampak ini terjadi pada balita di Agrabinta yang beberapa hari lalu. Ke depan, Irvan menerangkan, Dinkes telah menginstruksikan petugas di tingkat puskesmas dan posyandu untuk memantau kondisi setiap balita di Cianjur. Misalnya, dengan mengintensifkan lagi program posyandu unruk mendeteksi sejak awal anak yang mengalami gizi buruk agar bisa ditangani dengan cepat. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Dalam geografi dikenal tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan keruangan spasial, pendekatan kelingkungan ekologi, dan pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan atau pendekatan spasial mengkaji tentang berbagai gejala geografis yang terjadi pada suatu ruang/tempat di permukaan bumi. Gejala geografis ini erat kaitannya dengan aspek fisik. Dalam pendekatan ini dapat dikaji mengenai perubahan gejala, persebaran gejala, perbedaan gejala, persamaan gejala, dan lain sebagainya. Sementara itu, pendekatan kelingkungan atau yang sering disebut sebagai pendekatan ekologi lebih menfokuskan kajiannya pada hubungan antara manusia dengan lingkungan. Fenomena yang dapat dikaji dengan pendekatan ini harus mengandung dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek nonfisik. Contohnya seperti fenomena pada soal. Dalam soal dibahas mengenai fenomena gizi buruk yang dikaji dengan melibatkan faktor fisik dan faktor manusia. Pelibatan kedua faktor tersebut merupakan indikasi pengkajian dengan pendekatan kelingkungan yang memfokuskan kajiannya pada interaksi antara aspek fisik dan aspek manusia. Selain kedua pendekatan tersebut, ada juga pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan kompleks wilayah merupakan kombinasi dari pendekatan keruangan dan pendekatan kelingkungan. Pada pendekatan ini, masalah yang dikaji biasanya lebih kompleks sehingga membutuhkan penanganan yang melibatkan beberapa wilayah di muka bumi.
JAKARTA - Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies IDEAS Yusuf Wibisono menilai permasalahan gizi buruk di Indonesia meningkat pada masa pandemi. Hal tersebut terjadi karena kombinasi dua persoalan utama, yaitu jatuhnya daya beli masyarakat dan terganggunya layanan kesehatan esensial, terutama bagi kelompok rentan, seperti ibu dan anak. Turunnya daya beli masyarakat sebagai akibat dari guncangan ekonomi saat pandemi membuat akses pangan dan asupan gizi masyarakat miskin memburuk. “Konsumsi pangan yang tidak bergizi pada gilirannya memicu malnutrisi, yang pada penduduk usia dini akan membawa pada masalah serius, yaitu stunting pendek, underweight kurus, dan wasting gizi kurang,” kata Yusuf dalam Diskusi Publik Nasional Buruk Gizi Di Masa Pandemi’ di Jakarta pada Kamis 8/4. Dia menambahkan, ketika kebutuhan akan dukungan melawan gizi buruk dan stunting meningkat, intervensi gizi oleh pemerintah justru melemah seiring penyebaran virus yang semakin masif dan meningkatnya beban sistem kesehatan nasional. “Posyandu dan puskesmas yang merupakan ujung tombak intervensi gizi spesifik, banyak terganggu operasionalnya, terutama di wilayah zona merah pandemi,” kata Yusuf. Baca juga Banyak Anak Banyak Rezeki, Penyebab Adanya Generasi Sandwich Kondisi kesehatan generasi penerus negeri masih memprihatinkan. Yusuf menuturkan, pada 2020, sepertiga anak Indonesia memiliki keluhan kesehatan, dengan kasus tertinggi dialami anak usia dini 0-4 tahun 43,7 persen. Hanya 62,4 persen anak yang dilindungi jaminan kesehatan, dengan kasus terendah dialami anak dari keluarga miskin 52,7 persen. Kondisi stunting disebabkan berbagai faktor mulai dari kesehatan dan nutrisi ibu pada masa kehamilan yang buruk, kondisi pangan yang tidak tercukupi pada saat bayi dalam kandungan hingga masa kanak-kanak, hingga infeksi penyakit. “Pada 2020, terdapat 11,4 persen Ibu melahirkan dengan anak BBLR berat badan lahir rendah, yaitu bayi dengan berat lahir kurang dari 2,5 kg. Stunting telah dimulai dari kandungan ibu,” kata Yusuf. Masalah gizi buruk berakar dari rendahnya daya beli kelompok miskin, yang menghalangi mereka untuk mengakses pangan penting, namun harganya mahal. “Menghadapi harga pangan yang mahal, strategi umum yang ditempuh keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan beralih ke pangan yang lebih murah dan diawetkan, namun kurang sehat, seperti mi instan,” ujar Yusuf. Temuan lapangan IDEAS dari program pencegahan stunting oleh LAZ Dompet Dhuafa DD di sepanjang paruh kedua 2020 memberikan gambaran awal permasalahan rendahnya asupan gizi dan tingginya kasus gizi buruk pada masa pandemi ini. Di bawah Program Kampung Tangguh Cekal Corona’, Dompet Dhuafa melakukan pemantauan terhadap 270 anak usia 0-5 tahun di 6 titik, yaitu Desa Neuheun Aceh, Desa Gowok Banten, Kelurahan Tengah Jakarta, Desa Lambang Jaya Jawa Barat, Desa Gili Gede Indah Nusa Tenggara Barat/NTB, dan Desa Namosain Nusa Tenggara Timur/NTT. “Dari 59 balita yang teridentifikasi sebagai rentan gizi dan terpilih untuk mengikuti program pencegahan stunting DD, 21 balita terkategori memiliki tinggi badan normal, 24 balita pendek dan 14 balita sangat pendek, dengan rata-rata nilai z-score TB/U stunting adalah -2,24,” tutur Yusuf. Dia menambahkan, pada saat yang sama, 12 balita terkategori memiliki berat badan normal, 29 balita kurus, dan 18 balita sangat kurus, dengan rata-rata nilai z-score BB/U underweight adalah -2,64. “Dari temuan tersebut terlihat bahwa masalah gizi buruk pada masa pandemi nyata terlihat di penjuru negeri, bahkan ditemui di Ibu Kota,” kata Yusuf. Dari pengamatan terhadap 59 balita setelah mendapat intervensi gizi awal dan lanjutan selama 28 hari, terlihat hasil yang positif. Nilai rata-rata z-score TB/U stunting membaik dari semula -2,24 menjadi -1,99. Balita dengan tinggi badan normal bertambah dari 21 anak menjadi 31 anak. Nilai rata-rata z-score BB/U underweight juga membaik dari -2,64 menjadi -2,27. Balita dengan berat badan normal bertambah dari 12 anak menjadi 20 anak.“Program pencegahan stunting DD adalah salah satu contoh partisipasi masyarakat dalam menanggulangi dampak pandemi, dengan fokus pada akses pangan kelompok miskin,” kata Yusuf. Dalam kesempatan diskusi tersebut, General Manager Divisi Kesehatan Dompet Dhuafa, Yeni Purnamasari, menjelaskan bahwa lembaganya turut berpartisifasi dalam upaya pencegahan gizi buruk selama pandemi melanda. Baca juga Pakar Terapi Anak Autis Harus Perhatikan Kenyamanan “Pada masa pandemi Covid-19, DD terus melakukan upaya pada penanggulangan stunting yang terangkum dalam program besar Aksi Peduli Dampak Corona APDC, seperti melakukan Posyandu mobile, Pemantauan Kesehatan Ibu dan Balita, Pos Gizi, dan Pemantauan status gizi," ujar Yeni. Program APDC sendiri adalah Pusat pemulihan gizi kurang atau sangat kurang dengan pemberdayaan masyarakat yang meliputi pemberian makanan tambahan kepada anak secara intensif sesuai usia dan kondisinya serta pembelajaran edukatif kepada ibu balita dengan melibatkan peran serta kader. “Jumlah peserta dari kegiatan Program APDC sebanyak 10 balita dan 10 ibu balita di tiap wilayah sehingga secara keseluruhan di semua titik intervensi adalah 60 balita dan 60 ibu balita,” kata Yeni. Selain program APDC, lembaga yang sudah berkiprah sejak 1993 itu memiliki setidaknya empat program utama terkait permasalahan gizi yaitu Jaringan Kesehatan Ibu dan Anak, Program Kesehatan Kawasan, Pos Kesehatan dan Sosialisai Kesehatan Reproduksi. “Jaringan kesehatan Ibu dan Anak dengan total penerima manfaat sebanyak sebanyak Orang, Program Kesehatan Repreduksi di Provinsi Papua sebanyak penerima manfaat, Pos Sehat di Aceh dengan penerima manfaat, dan yang terbesar adalah Program Kesehatan Kawasan dengan penerima manfaat,” ujarnya. Ketika program intervensi kesehatan pemerintah yang esensial seperti Posyandu dan Puskesmas banyak terganggu operasionalnya saat pandemi, Dompet Dhuafa meluncurkan program Posyandu Mobile. Posyandu Mobile terdiri dari beberapa kegiatan, di antaranya edukasi Pemberian Makan Bayi dan Anak PMBA, pendampingan intervensi gizi terpusat, Pemberian Makanan Tambahan PMT Gizi seimbang, pemantauan berkala, jejaring rujukan. “Posyandu Mobile menjadi solusi pengukuran tumbuh kembang bayi balita selama pandemi dan dukungan kader, mitra dan masyarakat menjadi hal yang strategis untuk keberlangsungan program,” kata Yeni mengakhiri pemaparannya. Pada implementasi di lapangan program pencegahan stunting yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga sosial banyak menemui kendala terutama terkait sumber daya manusia. Hal tersebut dikemukakan oleh Kepala Desa Paseban Klaten, Al Eko Triraharjo. “Kami mengalami kesulitan mencari kader atau relawan yang benar-benar siap untuk membantu program pemerintah desa terkait pencegahan stunting,” ujar Al Eko. Walau demikian, dia yakin hal tersebut bisa diatasi dengan menjalin sinergi antarkelompok masyarakat dengan pemerintahan desa. “Kunci keberhasilan program penanganan stunting adalah membangun sinergi dengan berbagai pihak terkait,” tutur Al Eko.
- Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih memiliki masalah gizi yang dialami masyarakatnya. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sendiri membagi masalahan gizi tersebut dalam tiga kategori yaitu kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan gizi mikro. "Ada triple burden malnutrition permasalahan gizi di Indonesia yang terjadi, ada tiga masalah besarnya yaitu kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan gizi mikro," kata Direktur gizi masyarakat Kemenkes RI, Dr. dr. Dhian P. Dino dalam webinar Pana Comm., Jumat 28/8/2020. Ia menjelaskan kekurangan gizi ditandai dengan balita tubuh pendek atau stunting. Tetapi kondisi stunting ini juga bisa berdampak terhadap kecerdasan anak nantinya. "Dua sampai tiga dari sepuluh balita kita pendek. Kemudian satu dari sepuluh balita kurus. Ini perlu perhatian khusus," ucapnya. Baca Juga Kasus DBD Diperkirakan Akan Meningkat Tahun Ini, Begini Pencegahannya Bukan hanya kekurangan gizi, masalah gizi lain yang dihadapi Indonesia adalah kelebihan gizi atau obesitas. Melalui data Riskesdas 2018, Dhian menyampaikan bahwa dua sampai tiga dari sepuluh orang dewasa mengalami masalah kegemukan. "Jika itu tidak diselesaikan dengan baik maka berdampak penyakit tidak menular lain, seperti diabet dan hipertensi," ujarnya. Masalah ketika, kekurangan gizi mikro. Dhian mengatakan, biasanya terjadi pada ibu hamil yang mengalami anemia atau kurang darah. Ia menjelaskan bahwa kondisi itu bisa memicu janin menjadi stunting. "Anemia pada ibu hamil berpengaruh besar dan diperkirakan bisa berdampak bayi menjadi stunting dan mempengaruhi kecerdasannya," tutur Dhian.
di beberapa tempat di indonesia terjadi kasus gizi buruk